Senin, 15 Juli 2013

Wahai Jiwa Yang Tenang (Tafsir QS al-Fajr [89]: 27-30)

Jiwa Yang Tenang (Tafsir QS al-Fajr [89]: 27-30)


يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠﴾
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS al-Fajr [89]: 27-30).


Dalam ayat-ayat sebelumnya dijelaskan tentang celaan dan ancaman terhadap para pelaku maksiat. Ancaman itu benar-benar akan menjadi kenyataan ketika datang Hari Kiamat. Mereka harus menerima siksaan yang amat dahsyat. Demikian dahsyatnya hingga tidak satu pun siksaan manusia di dunia yang menyamainya. Mereka pun menyesali perbuatan mereka. Namun, penyesalan itu sudah terlambat sehingga tidak bermanfaat sama sekali bagi mereka.
Kemudian dalam ayat ini diberitakan tentang adanya golongan lain dari kalangan manusia. Mereka tidak termasuk yang ditimpa siksaan tiada tara itu. Mereka justru mendapat kabar gembira dan dimasukkan ke dalam surga-Nya.

Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman:  Yâ ayyatuhâ an-nafsu al-muthmainnah (Hai jiwa yang tenang). Ayat ini memberitakan tentang pemanggilan an-nafs al-muthmainnah. Kata an-nafs bisa digunakan untuk menyebut zat (benda) secara keseluruhan (lihat: QS al-Zumar [39]: 56; QS al-An’am [6]: 151);[1] bisa juga untuk menyebut ruh (lihat: QS al-An’am [6]: 93).[2]
Adapun kata al-muthmainnah merupakan ism al-fâ’il dari al-thuma’nînah wa al-ithmi’nân. Secara bahasa, kata al-thuma’nînah berarti as-sukûn (diam, tenang, tidak bergerak).[3] Dijelaskan juga oleh al-Asfahani, kata tersebut berarti as-sukûn ba’da al-inzi’âj (tenang setelah gelisah atau cemas).[4] Menurut at-Tunisi, kata ithma’anna digunakan ketikahâdi[an] ghayra mudhtharib wa lâ munza’ij (tenang, tidak cemas dan tidak gelisah). Kata itu juga bisa juga digunakan untuk menunjuk ketenangan jiwa karena membenarkan apa yang dalam al-Quran tanpa ada keraguan dan kebimbangan. Oleh karena itu, penyebutan tersebut merupakan pujian atas jiwa tersebut. Bisa pula, ketenangan jiwa tersebut tanpa takut dan fitnah di akhirat.[5]
Siapa yang dimaksud dengan orang yang berjiwa tenang dalam ayat ini? Ada beberapa penjelasan. Menurut Ibnu Abbas, dia adalah al-muthmainnah bi tsawâbil-Lâh (jiwa yang tenteram dengan pahala Allah); juga bermakna jiwa yang mukmin.[6] Al-Hasan menafsirkannya sebagai al-mu’minah al-mûqînah (jiwa yang mukmin dan yakin). Athiyah berpendapat, ia adalah jiwa yang ridha terhadap qadha Allah.[7]
Dikemukakan al-Khazin, yang dimaksud dengannya adalah jiwa yang teguh di atas iman dan keyakinan, membenarkan apa yang difirmankan Allah SWT, meyakini Allah SWT sebagai Tuhannya, serta tunduk dan taat terhadap perintah-Nya.[8]Ibnu Jarir ath-Thabari memaknainya sebagai orang yang tenteram dengan janji Allah SWT yang disampaikan kepada ahli iman di dunia berupa kemuliaan bagi dirinya di akhirat, kemudian dia membenarkan janji itu.[9] Abu Hayyan al-Andalusi menyatakan, al-muthmainah adalah al-âminah (orang yang aman dan tenteram) tidak diliputi oleh ketakutan dan kekhawatiran; atau tenteram dengan kebenaran dan tidak dicampuri dengan keraguan.[10]
Diterangkan Fakhruddin ar-Razi, al-itmi’nân berarti al-istiqrâr wa ats-tsabbât (kekokohan dan keteguhan). Bentuk keteguhan itu ada beberapa. Pertama: meyakini kebenaran dengan pasti (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 260).
Keduaan-nafs al-âminah (jiwa yang aman dan tenteram) tidak bercampur dengan ketakutan dan kekhawatiran (Lihat: QS Fushilat [41]: 30).
Jika diperhatikan, sekalipun menggunakan redaksional yang berbeda-beda, sesungguhnya obyek yang ditunjuk tidak berbeda, yakni orang Mukmin yang taat dan ikhlas. Ini juga ditegaskan oleh al-Qurthubi, bahwa yang benar adalah  jiwa tersebut bersifat umum mencakup semua jiwa yang mukmin, muklish dan taat.[11]
Kepada jiwa yang tenang itu diserukan: Irji’î ilâ Rabbika râdhiyah mardhiyyah (kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai). Jiwa itu dipanggil untuk kembali kepada Rabbiki. Yang dimaksud dengan Rabbiki di sini adalah Allah SWT.[12] Digunakan kata Rabbiki, menurut al-Alusi, untuk menambah kelembutan.[13] Di-mudhâf-kan kepadadhamîr an-nafs al-mukhâthah—yakni kata ganti orang kedua yang menunjuk pada an-nafs—berguna sebagai tasyrîf[an] lahu (untuk memuliakannya).[14] Menurut Ibnu Zaid, perkataan ini disampaikan ketika mati dan keluarnya ruh dari jasad seorang Mukmin di dunia.[15] Dari Said berkata, “Saya membaca ayat ini (Yâ ayyatuhâ an-nafsu al-muthmainnah; Irji’î ilâ Rabbiki râdhiyah mardhiyyah) di samping Rasulullah saw., lalu Abu Bakar ra. berkata, “Sungguh ini sesuatu yang bagus.”Kamudian Rasulullah saw. bersabda:
أما إنَّ المَلَكَ سَيَقُولُهَا لَكَ عِنْدَ المَوتِ
Adapun sesungguhnya malaikat akan mengatakan itu kepadamu ketika mati (HR ath-Thabari).[16]

Ada juga yang menafsirkan Rabbiki  di sini adalah jasadnya. Artinya, an-nafs dimaknai sebagai ar-rûh lalu dikembalikan pada jasadnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu ‘Abbas, Ikrimah dan ‘Atha`; juga ath-Thabari dan al-Qurthubi.[17] Menurut ath-Thabari, perkataan itu disampaikan pada Hari Kebangkitan. Dalilnya adalah kalimat berikutnya:Fa [i]dkhulî fî ‘ibâdî Wa [id]khulî jannatî.[18]
Disebutkan bahwa jiwa tersebut kembali dalam keadaan râdhiyat[an] mardhiyyat[an]. Kata râdhiyah berarti râdhiyah bimâ ûtiyatihi (jiwa itu puas dengan apa yang diberikan kepadanya). Adapun mardhiyyah berarti mardhiyyah ‘indal-Lâh bi ‘amalika (jiwa itu diridhai di sisi Allah dengan amal kalian).[19] Dengan kata lain, jiwa tersebut ridha kepada Allah beserta kemuliaan yang diberikan kepadanya berupa pahala dan Allah pun ridha terhadap jiwa itu.[20]
Kemudian dikatakan kepadanya: Fa [i]dkhulî fî ‘ibâdî (lalu masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku). Seruan ini berarti: Masuklah ke dalam kumpulan hamba-Ku yang shalih dan bergabunglah bersama mereka. Sebab, maksud ibâdî(para hamba-Ku) sebagaimana dijelaskan mufassir adalah ibâdî ash-shâlihîn, para hamba-Ku yang shalih. Di antara yang mengatakan demikian adalah Qatadah, al-Qurthubi, al-Khazin, Abu Hayyan, as-Samarqandi, al-Jazairi, dan lain-lain.[21]Menurut al-Qurthubi, ini sebagaimana firman Allah SWT:

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَنُدْخِلَنَّهُمْ فِي الصَّالِحِينَ ﴿٩﴾
Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih benar-benar akan Kami masukkan ke dalam (golongan) orang-orang yang salih (QS al-Ankabut [29]: 9).

Kemudian dikatakan pula kepadanya: Wa [id]khulî jannatî (dan masuklah ke dalam surga-Ku). Mereka juga dipersilakan masuk ke dalam surga-Nya. Mereka menjadi penghuninya yang kekal dan abadi. Mereka benar-benar mendapatkan apa yang dijanjikan Allah SWT, yakni surga yang di dalamnya terdapat segala yang disenangi manusia. Allah SWT berfirman:
فِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ ۖ وَأَنتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿٧١﴾
Di dalam surga itu terdapat segala yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kalian kekal di dalamnya (QS az-Zukhruf [43]: 71).
Itulah sebaik-baik tempat kembali.  Semua karunia itu diberikan kepada mereka sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan selama di dunia.

Keberuntungan Jiwa yang Tenang
Ayat-ayat ini adalah di antara ayat yang memberitakan kabar gembira kepada orang-orang Mukmin dan beramal shalih yang tetap istiqamah hingga akhir hayatnya. Sebagaimana dipaparkan di muka, merekalah yang mendapatkan kehormatan berupa sebutan: an-nafs al-muthaminnah.
Sebutan tersebut benar-benar sesuai dengan keadaan dan realitas mereka, terutama pada Hari Kiamat kelak. Pada saat orang-orang kafir dan para pelaku kemaksiatan merasakan ketakutakan luar biasa ketika datangnya Hari Kiamat yang memang mengerikan, mereka justru dijamin keamanannya. Mereka tidak perlu takut dan khawatir. Bahkan mereka dipanggil dengan panggilan yang amat lembut: Yâ ayyatuhâ an-nafs al-muthaminnah (Wahai jiwa yang tenang lagi tenteram).
Ketika orang-orang kafir dan pelaku maksiat menerima azab tiada tara di neraka, mereka dijauhkan dari siksa yang amat dahsyat itu. Mereka pun dipanggil untuk bergabung bersama dengan para hamba Allah SWT yang shalih lainnya. Mereka adalah sebaik-baik teman sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا ﴿٦٩﴾
Siapa saja yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang salih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (QS an-Nisa’ [4]: 69).

Mereka juga dipersilakan memasuki surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan. Mereka pun amat puas terhadap semua karunia Allah SWT itu. Allah SWT juga ridha terhadap mereka. Itulah balasan untuk mereka atas keimanan dan amal shalih mereka. Ini sebagaimana diberitakan dalam firman Allah SWT:

جَزَاؤُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ ﴿٨﴾
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah Surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Itulah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya (QS al-Bayyinah [98]: 8).

Mereka adalah orang-orang yang beruntung. Balasan yang yang mereka terima jauh lebih besar daripada yang mereka korbankan. Sewaktu di dunia, mereka memang harus bersusah-payah menjaga keimanan dan memperbanyak amal shalih. Mereka harus berjuang keras mengekang hawa nafsunya dan menahan diri tidak mengumbar kesenangannya. Mereka juga harus bersabar menjalani semua perintah-Nya dan menjauhi semua laranangan-Nya. Demikian pula tatkala menghadapi berbagai godaan, cobaan dan ujian; mereka harus tetap kokoh dan teguh. Sikap itu harus terus dipelihara sekalipun harus menanggung penderitaan dan rasa sakit. Akan tetapi, semua beban berat itu lenyap seketika tatkala mereka mengecap kenikmatan surga. Demikian nikmatnya hingga seolah-olah tidak pernah merasakan penderitaan sedikit pun.
Keadaan mereka berkebalikan dengan orang-orang kafir dan para pelaku maksiat. Segala kesenangan yang mereka rasakan tidak sebanding dengan dahsyatnya siksa yang harus mereka terima. Begitu dimasukkan ke dalam neraka, semua kesenangan itu langsung sirna tak bersisa. Seolah mereka tidak pernah mengenyam kenikmatan sedikit pun. Rasulullah saw. bersabda:

يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُصْبَغُ فِى النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ فَيَقُولُ لاَ وَاللهِ يَا رَبِّ. وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِى الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِى الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ فَيَقُولُ لاَ وَاللهِ يَا رَبِّ مَا مَرَّ بِى بُؤُسٌ قَطُّ وَلاَ رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ
Pada Hari Kiamat akan didatangkan  penduduk neraka yang paling bahagia sewaktu di dunia. Lalu ia dicelupkan ke neraka sekali celupan, kemudian dikatakan kepadanya, “Wahai anak Adam, adakah engkau melihat kebaikan? Apakah engkau pernah merasakan kenikmatan?” Ia menjawab, ”Tidak, demi Allah, wahai Rabb-ku.” Didatangkan pula seorang penghuni surga yang paling sengsara sewaktu di dunia, lalu ia dicelupkan sekali celupan di surga, kemudian ia ditanya, ”Adakah engkau merasakan penderitaan? Apakah engkau pernah merasakan kesengsaraan?” Ia menjawab,”Tidak, demi Allah, wahai Rabb-ku. Aku tidak merasakan penderitaan sedikitpun dan sama sekali belum pernah mengalami kesengsaraan(HR Muslim dari Anas bin Malik).
Inilah gambaran besarnya kenikmatan surga dan dahsyatnya siksa neraka. Maka sungguh beruntung orang-orang yang tidak tertipu dengan dunia. Orang-orang yang senantiasa mengumpulkan bekal sebanyak-banyak menyongsong kehidupan akhirat yang abadi. Merekalah orang-orang beriman dan memenuhi kehidupannya dengan catatan amal shalih. Semoga kita termasuk di dalamnya.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Menurut Kajian yg lain adalah
Dalam Tafsir Imam Ibnu Katsir [1] disebutkan maksud dari firman Allah SWT,  “Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambak-Ku“ adalah ke dalam kelompok mereka. Firman Allah SWT, “dan masuklah ke dalam surga-Ku“ dikatakan kepada jiwa ketika dihadirkan pada hari Kiamat, sebagaimana para malaikat juga memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman ketika mereka dibangkitkan dari kubur.
Berkaitan dengan firman Allah SWT, “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya” Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata,“Ayat ini turun ketika Abu Bakar sedang duduk, kemudian ia bertanya, ‘Wahai Rauslullah, apa maksudnya itu?’ Rasulullah menjawab, “Ayat ini akan dikatakan kepadamu.’”
Dalam tafsir Imam At-Tabari [2] disebutkan, dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan tentang perkataan malaikat kepada para walinya di hari kiamat, “Wahai jiwa yang tenang!”. Maknanya, jiwa yang yakin dan memercayai janji Allah SWT yang telah dijanjikan-Nya bagi orang beriman di dunia, berupa kemuliaan di akhirat. Pemaknaan ini sesuai dengan perkataan Qatadah bahwa yang dimaksud dengan ayat, ““Wahai jiwa yang tenang!”, ialah seorang mukmin yang jiwanya yakin janjiAllah SWT. Dalam riwayat lain, “Merasa yakin dan memercayai apa yang difirmankan Allah.”Selanjutnya, malaikat berkata, “kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” Menurut Imam At-Tabari, perkataaan ini diucapkan kepada mereka ketika roh-roh itu dikembalikan kepada jasadnya pda hari kebangkitan, berdasarkan petunjuk dari firman Allah SWT,“Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambak-Ku , dan masuklah ke dalam surga-KuFirman-Nya ini menunjukkan bahwa jiwa-jiwa yang tenang itu dimasukan ke dalam surga tiada lain pada hari itu, bukan sebelumnya. Ayat ini sebagai penjelasan dari Allah SWT tentang tempat kembalinya jiwa-jiwa yang tenang, yaitu yang beriman kepada Allah SWT, mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta membenarkan ayat-ayat yang datang dari Tuhan-Nya.
ASBABUNNUZUL (Sebab turunnya ayat)
Diriwayatkan Ibnu Abi Hatim, dari Buraidah, ayat 27 surat Al-Fajr turun menceritakan Hamzah, paman Rasulullah SAW yang gugur dalam Perang Uhud. Allah SWT menurunkan ayat tersebut sebagai tanda kebesaran atas jiwa yang tenang. (Asbabun Nuzul, Studi Pendalaman Al-Qur’an: 903)
KHAZANAH PENGETAHUAN
Untuk lebih memperdalam tafsiran Surat Al-Fajr 27-30 di atas , maka pada postingan ini saya juga menampilkan sebuah artikel dari Harun Yahya yang termuat di Syaamil Qur’an: Mirracle The Reference yang berjudul “Menguatkan Hati Nurani agar Jiwa menjadi Tenang” [3].
Kata hati adalah kekuatan yang dipercayakan oleh Allah SWT kepada manusia untuk menunjukkan jalan yang benar kepada mereka dan segala macam sikap serta tingkah laku yang sesuai denganAl-Qur’an.
Kata hati mengilhami seseorang, cara untuk menyenangkan Allah SWT dan berbuat sesuai denganAl-Qur’an. Apa pun kondisinya, seseorang yang mendengarkan suara hatinya akan mencapai keihklasan. Keikhlasan berarti kemampuan untuk memakai hati nurani seseorang seefektif mungkin. Ini juga berarti seseorang tidak boleh mengabaikan kata hatinya, bahkan di bawah pertentangan pengaruh luar atau nafsu rendahnya.
Karena alasan inilah seseorang yang berharap untuk mendapatkan keikhlasan, pertama-tama ia harus menentukan apakah ia memakai hati nuraninya dengan baik atau tidak. Hati nurani adalah berkah bagi kemanusiaan.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Kamis, 11 Juli 2013

SYARIAT, TAREKAT, HAKIKAT DAN MAKRIFAT ITU 1 (SATU)

Syariat bisa diibaratkan sebagai jasmani/badan tempat ruh berada sementara hakikat ibarat ruh yang menggerakkan badan, keduanya sangat berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan. Badan memerlukan ruh untuk hidup sementara ruh memerlukan badan agar memiliki wadah.
Saidi Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi guru Mursyid dari Ayahanda Prof. Dr. Saidi Syekh Kadirun Yahya MA. M.Sc mengibaratkan syariat laksana baju sedangkan hakikat ibarat badan. Dalam beberapa pantun yang Beliau ciptakan tersirat pesan-pesan tentang pentingnya merawat tubuh sebagai perhatian utama sedangkan merawat baju juga tidak boleh dilupakan.
Imam Malik mengatakan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syariat dan hakikat secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya. Ada adagium cukup terkenal, “Hakikat tanpa syariat adalah kepalsuan, sedang syariat tanpa hakikat adalah sia-sia.” Imam Malik berkata, “Barangsiapa bersyariat tanpa berhakikat, niscaya ia akan menjadi fasik. Sedang yang berhakikat tanpa bersyariat, niscaya ia akan menjadi zindik. Barangsiapa menghimpun keduanya [syariat dan hakikat], ia benar-benar telah berhakikat.”
Syariat adalah hukum-hukum atau aturan-aturan dari Allah yang disampaikan oleh Nabi untuk dijadikan pedoman kepada manusia, baik aturan ibadah maupun yang lainnya. Apa yang tertulis dalam Al-Qur’an hanya berupa pokok ajaran dan bersifat universal, karenanya Nabi yang merupakan orang paling dekat dengan Allah dan paling memahami Al-Qur’an menjelaskan aturan pokok tersebut lewat ucapan dan tindakan Beliau, para sahabat menjadikan sebagai pedoman kedua yang dikenal sebagai hadist. Ucapan Nabi bernilai tinggi dan masih sarat dengan simbol-simbol yang memerlukan keahlian untuk menafsirkannya.
Para sahabat sebagai orang-orang pilihan yang dekat dengan nabi merupakan orang yang paling memahami nabi, mereka paling mengerti akan ucapan Nabi karena memang hidup sezaman dengan nabi. Penafsiran dari para sahabat itulah kemudian diterjemahkan dalam bentuk hukum-hukum oleh generasi selanjutnya. Para ulama sebagai pewaris ilmu Nabi melakukan ijtihad, menggali sumber utama hukum Islam kemudian menterjemahkan sesuai dengan perkembangan zaman saat itu, maka lahirlah cabang-cabang ilmu yang digunakan sampai generasi sekarang. Sumber hukum Islam itu kemudian dikenal memiliki 4 pilar yaitu : Al-Qur’an, Hadist, Ijmak dan Qiyas, itulah yang kita kenal dengan syariat Islam.
Untuk melaksanakan Syariat Islam terutama bidang ibadah harus dengan metode yang tepat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan apa yang dilakukan Rasulullah SAW sehingga hasilnya akan sama. Sebagai contoh sederhana, Allah memerintahkan kita untuk shalat, kemudian Nabi melaksanakannya, para sahabat mengikuti. Nabi mengatakan, “Shalatlah kalian seperti aku shalat”. Tata cara shalat Nabi yang disaksikan oleh sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang 13 perkara. Kalau hanya sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh ummat Islam agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi. Akan tetapi, dalam rukun shalat tidak diajarkan cara supaya khusyuk dan supaya bisa mencapai tahap makrifat dimana hamba bisa memandang wajah Allah SWT.
Ketika memulai shalat dengan “Wajjahtu waj-hiya lillaa-dzii fatharas-samaawaati wal-ardho haniifam-muslimaw- wamaa ana minal-musy-rikiin..” Kuhadapkan wajahku kepada wajah-Nya Zat yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan lurus dan berserah diri, dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik. Seharusnya seorang hamba sudah menemukan chanel atau gelombang kepada Tuhan, menemukan wajahnya yang Maha Agung, sehingga kita tidak termasuk orang musyrik menyekutukan Tuhan. Kita dengan mudah menuduh musyrik kepada orang lain, tanpa sadar kita hanya mengenal nama Tuhan saja sementara yang hadir dalam shalat wajah-wajah lain selain Dia. Kalau wajah-Nya sudah ditemukan di awal shalat maka ketika sampai kepada bacaan Al-Fatihah, disana benar-benar terjadi dialog yang sangat akrab antara hamba dengan Tuhannya.
Syariat tidak mengajarkan hal-hal seperti itu karena syariat hanya berupa hukum atau aturan. Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar, ruh ibadah itu hidup, diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Tariqatullah jalan kepada Allah yang kemudian disebut dengan Tarekat. Jadi Tarekat itu pada awalnya bukan perkumpulan orang-orang mengamalkan zikir. Nama Tarekat diambil dari sebuah istilah di zaman Nabi yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan Rahasia atau Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Munculnya perkumpulan Tarekat dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar orang-orang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir seperti nasehat Syaidina Ali bin Abi Thalib kw, “Kejahatan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”.
Kalau ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan syariat itu tidak dilaksanakan dengan metode yang benar (Thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong hanya sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti rukun-rukun dengan gerak kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat namun hati berkelana kemana-mana. Sepanjang shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani.
Ibadah haji yang merupakan puncak ibadah, diundang oleh Maha Raja Dunia Akhirat, seharusnya disana berjumpa dengan yang mengundang yaitu Pemilik Ka’bah, pemilik dunia akhirat, Tuhan seru sekalian alam, tapi yang terjadi yang dijumpai disana hanya berupa dinding dinding batu yang ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di arafah itu adalah proses menunggu, menunggu Dia yang dirindui oleh sekalian hamba untuk hadir dalam kekosongan jiwa manusia, namun yang ditunggu tak pernah muncul.
Disini sebenarnya letak kesilapan kaum muslim diseluruh dunia, terlalu disibukkan aturan syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu dengan benar yaitu Tarekat. Ketika ilmu tarekat dilupakan bahkan sebagian orang bodoh menganggap ilmu warisan nabi ini sebagai bid’ah maka pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusuk beribadah sementara hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat itu bukan pahala tapi ancaman Neraka Wail. Harus di ingat bawah “Lalai” yang di maksud disana bukan sekedar tidak tepat waktu tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin dalam shalat bisa mengingat Allah kalau diluar shalat tidak di latih ber-Dzikir (mengingat) Allah? dan bagaimana mungkin seorang bisa berdzikir kalau jiwanya belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al ‘Ala, “Beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya/ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian menegakkan shalat”.
Kesimpulan dari tulisan singkat ini bahwa sebenarnya tidak ada pemisahan antara ke empat ilmu yaitu Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat, ke empatnya adalah SATU. Iman dan Islam bisa dijelaskan dengan ilmu syariat sedangkan maqam Ihsan hanya bisa ditempuh lewat ilmu Tarekat. Ketika kita telah mencapai tahap Makrifat maka dari sana kita bisa memandang dengan jelas bahwa ke empat ilmu tersebut tidak terpisah tapi SATU.

Tulisan ini saya tulis dalam perjalanan ziarah ke Maqam Guru saya tercinta, teringat pesan-pesan Beliau akan pentingnya ilmu Tarekat sebagai penyempurnaan Syariat agar mencapai Hakikat dan Makrifat. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi renungan dan memberikan manfaat untuk kita semua. Amin!

Rabu, 03 Juli 2013

CIRI-CIRI WAHABI DAN TOKOHNYA

Daftar nama ulama Wahabi Salafi, kitab buku dan situs/blog-nya. Secara umum, tokoh utama ulama Wahabi/Salafi adalah ulama yang berdomisili di Arab Saudi dan menduduki posisi jabatan resmi tertentu di Kerajaan atau di universitas-universitas Arab Saudi seperti Ummul Qura, Universitas Islam Madinah, Universitas Ibnu Saud, dll. 

Santri dan ulama Indonesia perlu mengetahui ini agar tidak salah dalam mengutip pendapat mereka baik yang berbahasa Arab atau Indonesia. Karena, banyak buku-buku mereka yang diterbitkan dan diterjemahkan di Indonesia. 

CIRI KHAS ULAMA DAN ULAMA WAHABI

1. Kata kunci dan tema sentral dari fatwa para ulama Wahabi Salafi berkisar pada (a) bid'ah; (b) syirik; (c) kufur; (d) syiah rafidlah kepada kelompok Islam atau muslim lain yang tidak searah dengan mereka. Kita akan sering menemukan salah satu dari 4 kata itu dalam setiap fatwa mereka.

2. Dalam memberi fatwa, tokoh utama ulama Wahabi Salafi akan langsung berijtihad sendiri dengan mengutip ayat dan hadits yang mendukung. Atau, kalau mengutip fatwa ulama, mereka akan cenderung mengutip fatwa dari Ibnu Taimiyah atau Ibnul Qayyim. Selanjutnya, mereka akan membuat fatwa sendiri yang kemudian akan menjadi dalil para pengikut Wahabi. Dengan kata lain, pengikut Wahabi hanya mau bertaklid buta pada ulama Wahabi. 

3. Tokoh atau ulama Wahabi Salafi level kedua ke bawah akan cenderung menjadikan fatwa tokoh Salafi level pertama sebagai salah satu rujukan utama. Atau kalau tidak, akan memberi fatwa yang segaris dengan ulama Wahabi level pertama. 

4. Kalangan ulama atau tokoh Wahabi Salafi tidak suka atau sangat jarang mengutip pendapat ulama salaf seperti ulama madzhab yang empat dan yang lain kecuali madzhab Hanbali yang merupakan tempat rujukan asal mereka dalam bidang fiqih walaupun tidak mereka akui secara jelas. Hanya pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim yang sering dikutip untuk pendapat ulama di atasnya Muhammad ibnu Abdil Wahhab terutama dalam bidang yang menyangkut aqidah.

5. Di mata ulama Wahabi, perayaan keislaman yang boleh dilakukan hanyalah hari raya idul fitri dan idul adha. Sedangkan perayaan yang lain seperti maulid Nabi Muhammad, peringatan Isra' Mi'raj dan perayaan tahun baru Islam dianggap haram dan bid'ah. 

6. Gerakan-gerakan atau organisasi Islam yang di luar Wahabi Salafi atau yang tidak segaris dengan manhaj (aturan standar ideologi) Wahabi akan mendapat label syirik, kufur atau bid'ah.

7. Semua lulusan universitas Arab Saudi dan afiliasinya adalah kader Wahabi Salafi.  Sampai terbukti sebaliknya.
8. Pengikut/aktivis Wahabi Salafi tidak mau taklid (mengikuti pendapat) ulama salaf (klasik) dan khalaf (kontemporer), tapi dengan senang hati taklid kepada pendapat dan fatwa ulama-ulama Wahabi Salafi atau fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta' (اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء والدعوة والإرشاد) dan lembaga serta ulama-ulama yang menjadi anggota Hai'ah Kibaril Ulama (هيئة كبار العلماء) yang nama lengkapnya adalah Ar-Riasah al-Ammah lil Buhuts wal Ifta' (الرئاسة العامة للبحوث العلمية والإفتاء).

9. Pengikut/aktivis sangat menghormati ulama-ulama mereka dan selalu menyebut para ulama Wahabi dengan awalan Syekh dan kadang diakhiri dengan rahimahu-Llah atau hafidzahulLah. Seperti, Syeikh Utsaimn, Syeikh Bin Baz, dll. Tapi, menyebut ulama-ulama lain cukup dengan memanggil namanya saja.

10. Ulama Wahabi Salafi utama (kecuali Nashiruddin Albani yang asli Albania) mayoritas berasal dari Arab Saudi dan bertempat tinggal di Arab Saudi. Oleh karena itu, mereka umumnya memakai baju tradisional khas Arab Saudi yaitu (a) gamis/jubah warna putih (b) surban merah (c) surban putih (d) maslah yaitu jubah luar tanpa kancing warna hitam atau coklat yang biasa dipakai raja. Lihat baju luar yang dipakai Abdul Wahab dan Al-Utsaimin.

Oleh karena itu, saat kita membaca buku, kitab atau browsing di internet, tidak sulit menengarai pada fatwa ulama non-Wahabi, mana fatwa yang berasal dari Wahabi Salafi dan mana tulisan sebuah website atau blog yang penulisnya adalah pengikut Wahabi.

Sayangnya, tidak sedikit dari kalangan awam yang terkadang tidak sadar bahwa fatwa agama dalam buku atau situs internet yang mereka baca berasal dari fatwa Wahabi Salafi. Semoga dengan informasi ini, para pencari informasi keagamaan akan semakin tercerahkan. 

Intinya, cara termudah mengetahui apakah seorang ulama, ustadz atau tokoh agama atau orang awam biasa itu berfaham Wahabi Salafi adalah dari (a) latar belakang pendidikannya; (b) buku atau kitab yang dikutip; dan (c) cara memanggil ulama Wahabi dan ulama non-Wahabi (lihat poin 9).


TOKOH UTAMA ULAMA WAHABI

Daftar nama tokoh ulama Wahabi level pertama. Ulama atau tokoh Wahabi level kedua dan seterusnya akan mengutip pendapat tokoh level I ini sebagai rujukan pendapat mereka.





1. Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 H - 1206 H/1701 - 1793 M)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQ5go5X5h8yVAmZrMABmwY7xQzZL_6lDwHlNix_FVIMTKwywpLWb3M0MkFR6BLg7y-35_JE9m8WiXTVPPyMsG0ShC41v0BC4sYOJD354SpczGt3jV81kQScgTevz48i9dhIkXkAfHf4FQ8/s485/bin-abdul-wahhab.jpg

Jabatan penting di Kerajaan Arab SAudi:

- Pendiri dan pelopor gerakan Wahabi/Salafi.
- Mufti Kerajaan Arab Saudi.

Kitab karya Muhammad bin Abdul Wahab

1. رسائل العقيدة
2. كتاب الكبائر
3. مختصر الإنصاف والشرح الكبير
4. أربع قواعد تدور الأحكام عليها ويليها نبذة في اتباع النصوص مع احترام العلماء
5. مبحث الإجتهاد والخلاف
6. كتاب الطهارة
7. شروط الصلاة وأركانها وواجباتها
8. كتاب آداب المشي إلى الصلاة
9. أحكام تمني الموت
10. مختصر سيرة الرسول صلى الله عليه وسلم
11. فتاوى ومسائل
12. تفسير آيات من القرآن الكريم
13. كتاب فضائل القرآن
14. مختصر زاد المعاد
15. الرسائل الشخصية
16. مختصر تفسير سورة الأنفال
17. بعض فوائد صلح الحديبية
18. رسالة في الرد على الرافضة
19. الخطب المنبرية
20. قسم الحديث
21. المسائل التي لخصها محمد بن عبد الوهاب من كلام شيخ الإسلام ابن تيمية






2. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (1330 H - 1420 H / 1910 M - 1999 M)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhIgfW22JwAg-gSMX03RIZDmUsPLylbT-AugQ0zDF0MYb9dFubhYgN3IGhgY9NF4cYg3fNu7v5V5NAtyffOSEdjagM3AGvLoCu2RJE6vxPSBjkW2VtRDk81Wjjxk06UEH_bgBKunq21CeMe/s286/abdullah-bin-baz.jpg
Jabatan penting di Kerajaan Arab Saudi:

- Qadhi (Hakim) di daerah al-Kharaj semenjak tahun 1357-1371 H,
- Tahun 1390 H - 1395 H Rektor Universitas Islam Madinah.
- tahun 1414 H Mufti Umum Kerajaan.

Kitab atau buku karya tulis bin Baz

1. الأدلة ال
؃اشفة لأخطاء بعض الكتاب
2. الأدلة النقلية والحسية على إمكان الصعود إلى الكواكب وعلى جريان الشمس وسكون الأرض
3. إقامة البراهين على حكم من استغاث بغير الله أو صدق الكهنة والعرافين
4. الإمام محمد بن عبد الوهاب: دعوته وسيرته
5. بيان معنى كلمة لا إله إلا الله
6. التحقيق والإيضاح لكثير من مسائل الحج والعمرة والزيارة على ضوء الكتاب والسنة
7. تنبيهات هامة على ما كتبه محمد علي الصابوني في صفات الله عز وجل
8. العقيدة الصحيحة وما يضادها
9. الدعوة إلى الله
10. تنبيه هام على كذب الوصية المنسوبة إلى الشيخ أحمد
11. وجوب العمل بالسنة وكفر من أنكرها
12. الدعوة إلى الله سبحانه وأخلاق الدعاة

3. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (1347 H - 1421 H)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh-ub6fogzUzczoAj4c9uzVaqeXbWTIoAiFf4XFlaGiZuXqufGZSIQnkGpKuWAQW91BCYDt4r3x7gET5GwZwbPF90HQciR1_hYFu_TE0WY-ztJ_WySQsDBbSkU6ayTb5fv_zNbysfOVZg12/s320/Muhammad-bin+-Shalih-Al-Utsaimin.jpg

Al Utsaimin adalah pakar fiqih-nya kalangan Wahabi Salafi. Banyak persoalan hukum baru yang difatwakan olehnya. Seperti haramnya mengucapkan selamat natal, dan lain-lain.

Jabatan penting di Kerajaan Arab Saudi:

- Imam masjid jami’ al Kabir Unaizaih
- Mengajar di perpustakaan nasional Unaizah 
- Dosen fakultas syariah dan fakultas ushuluddin cabang Universitas Islam Imam Muhammad bin saud di Qasim, 

Kitab atau buku karya tulis Al-Utsaimin

1. أصول في التفسير
2. شرح مقدمة التفسير
3. تفسير القرآن الكريم
4. مجموع الفتاوى
5. الشرح الممتع
6. القول المفيد في شرح كتاب التوحيد
7. الإبداع في كمال الشرع وخطر الابتداع
8. رسالة الحجاب
9. زاد الداعية إلى الله
10. شرح الأصول الستة
11. شرح العقيدة الواسطية (شرح مطول)
12. الضياء اللامع من الخطب الجوامع
13. عقيدة أهل السنة والجماعة
14. فتح رب البرية بت
؄خيص الحموية
15. من مشكلات الشباب
16. المنتقى من فرائد الفوائد17
17. منظومة في أصول الفقه وقواعده
18. المنهج لمريد العمرة والحج
19. سؤال وجواب من برنامج نور على الدرب
20. شرح أصول الإيمان
21. مجموعة أسئلة في بيع وشراء الذهب

4. Muhammad Nashiruddin Al-Albani (1333 H - 1420 H/1914 M - 1999 M)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhIEf1KsdxAVlPqIAFj6LzSDDFUpUf1HtlHZl4RqTcO4T0ZKQ_hzyg-Yket4f402yt97PkjuplK4kEK_QiLwstQRx2X0L-iucl6md9TxF_MArmveY-5sOd67NTyFmq7IDI8pt5iBunvYtRS/s250/nashiruddin-albani.jpg

Jabatan penting di Kerajaan Arab Saudi:

- Tahun 1381 - 1383 H: Dosen Hadits Universitas Islam Madinah


Kitab atau buku karya tulis Al-Albani

1. سلسلة الأحاديث الصحيحة 
2. سلسلة الأحاديث الضعيفة 
3. صحيح الترغيب والترهيب
4. ضعيف الترغيب والترهيب
5. صحيح وضعيف الأدب المفرد
6. ظلال الجنه في تخريج السنة
7. سنن أبي داود 
8. جامع الترمذي
9. ضعيف سنن الترمذي
10. صحيح سنن ابن ماجة
11. ضعيف سنن ابن ماجة

5. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan (1345 H - )

Jabatan penting di Kerajaan Arab Saudi:

- Dosen Institut Pendidikan Riyad 
- Dosen Fakultas Syari'ah, Fakultas Ushulud Dien, Mahkamah Syariah
- Anggota Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta' (Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa).
- Anggota Haiah Kibaril Ulama' dan Komite Fiqh Rabithah Alam Islamiy di Mekkah 
- Anggota Komite Pengawas Du'at Haji 
- Ketua Lajnah Daimah lil buhuts wal ifta'. 
- Imam, Khatib dan Pengajar di Masjid Pangeran Mut'ib bin Abdil Aziz di Al Malzar. 

Kitab atau buku karya tulis Al-Fauzan

1. المنتقى من فتاوى الفوزان
2. شرح لمعة الإعتقاد الهادي إلى سبيل الرشاد
موفق الدين عبد الله بن قدامة
3. الملخص في شرح كتاب التوحيد
4. التعليق المختصر على القصيدة النونية
الإمام ابن قيم الجوزية

6. Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin (عبد الله بن عبد الرحمن بن جبرين) 1933 -2009 M / 1353 - 1430 H.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiWcpLfgLp0azn1rFj8p51NUzwXlPM_WE11QZwa1SE9Tey8RyxjEEPVfTuCt_Pe4UcYauvtO_RCY8WlV2p3tQuwIs9lw5v2OnHloK6h3nXQ4TZtK56rQEy4lmb7xZqlnNmGyoJzTJREGpUC/s252/abdullah-bin-jibrin.jpg

Jabatan penting di Kerajaan Arab Saudi

- Asisten Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz 
- Anggota tetap majlis riset dan fatwa Arab Saudi
- Dosen syariah dan ushuluddin di Arab Saudi


Kitab atau buku karya tulis Ibnu Jibrin

1. شرح أصول السنة لإمام أهل السنة أبي عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل رحمه الله تعالى
2. فضل الصحابة وذم من عاداهم
3. الإرشاد شرح لمعة الاعتقاد الهادي إلى سبيل الرشاد
4. الكنز الثمين 
5. أخبار الآحاد 
6. الثمرات الجنية شرح المنظومة البيقونية
7. حوار رمضاني
8. سبعون مخالفة تقع فيها النساء
9. فوائد من شرح منار السبيل
10. إبهاج المؤمنين بشرح منهج السالكين وتوضيح الفقه في الدين 

NAMA ANGGOTA KIBAR AL-ULAMA LIL-BUHUTS WAL-IFTA' ARAB SAUDI

Lembaga pemberi fatwa resmi Arab Saudi bernama Hai'ah Kibar-ul Ulama (lengkapnya, الرئاسة العامة للبحوث العلمية والإفتاء) yang anggotanya terdiri dari ulama senior Arab Saudi yang dipilih oleh kerajaan. Mereka adalah termasuk dedengkot dan tokoh Wahabi Salafi. Nama-namanya antara lain sebagai berikut:

1. Abdul-`Aziz ibn `Abdullah ibn Muhammad Al Al-Shaykh (ketua mufti saat ini)
2. Abdul-Razzaq ibn `Afify ibn `Atiyyah
3. Abdullah ibn Qa`ud
4. Ibrahim ibn Muhammad Al Al-Shaykh
5. Abdullah ibn Ghudayyan
6. Salih ibn Fawzan Al-Fawzan
7. Bakr ibn `Abdullah Abu Zayd
8. Abdullah ibn Mani`
9. Ahmad ibn `Aly ibn Ahmad Sayr Al-Mubaraky
10. Abdullah ibn Muhammad Al-Mutallaq
11. Abdullah ibn Muhammad ibn Sa`d Al Khanin
12. Sa`d ibn Nasir ibn `Abdul-Aziz Abu Habib Al-Shatry
13. Muhammad ibn Hasan Al Al-Shaykh
14. Abdul-Karim Al-Khudir

NAMA ANGGOTA LAJNAH DAIMAH WAL IFTA' (اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء والدعوة والإرشاد) ARAB SAUDI

Ulama yang tergabung dalam Lajnah Daimah wal Ifta' adalah ulama berpengaruh di Arab Saudi. Semua dari mereka beraliran Wahabi Salafi tentu saja. Nama-namanya antara lain sebagai berikut:


1. Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Al-Syaikh (Ketua)
2. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
3. Ahmad bin Ali bin Sair Al-Mubaraki.
4. Abdul Karim bin Abdullah Al-Khidir.
5. Muhammad bin Hasan Al-Syaikh
6. Abdullah bin Muhammad bin Khunain.
7. Abdullah bin Muhammad Al-Mutlak

DAFTAR NAMA ULAMA WAHABI SALAFI LUAR ARAB SAUDI

Berikut nama-nama ulama terkemuka beraliran Salafi Wahabi di negara lain selain Arab Saudi. Mayoritas dari ulama-ulama berikut terinspirasi atau pernah menjadi murid langsung dari tokoh-tokoh Wahabi Salafi Arab Saudi.

DAFTAR NAMA ULAMA WAHABI SALAFI INDIA PAKISTAN 

Sebagian di antara ulama di bawah tidak punya kaitan langsung dengan Muhammad bin Abdul Wahhab terutama ulama India Pakistan namun memiliki konsep yang sama atau serupa.

Ahmad bin Irfan Asy-Syahid (أحمد بن عرفان الشهيد)
Ismail bin Abdul Ghani Ad-Dahlawi (إسماعيل بن عبد الغني الدهلوي)
Muhammad Nadzir Husain Ad-Dahlawy (محمد نذير حسين الدهلوي)
Muhammad Siddiq Hasan KHan Al-Qanuji (محمد صديق حسن خان القنوجي)
Abu Turab Adz-Dzahiri (أبو تراب الظاهري)
Shafi Ar-Rahman Al-Mubarakpuri (صفي الرحمن المباركفوري)
Jamilur-Rohman Al-Afghani (جميل الرحمن الأفغاني)
Ihsan Ilahi Dhahir Pakistan (إحسان إلهي ظهير باكستان)

DAFTAR NAMA ULAMA WAHABI SALAFI IRAK 

Ali 'Alauddin Al-Alusi (علي علاء الدين الألوسي)
Muhammad Bahjat Al-Atsari (محمد بهجت الأثري)
Mahmud Syukri Al-Alusi (محمود شكري الألوسي)

DAFTAR NAMA ULAMA WAHABI SALAFI KUWAIT

Abdurrahman Abdul Kholik (عبد الرحمن عبد الخالق)
Utsman Al-Khamis (عثمان الخميس)

DAFTAR NAMA ULAMA WAHABI SALAFI MESIR 

Muhammad Sa'id Ruslan (محمد سعيد رسلان)
Abu Ishaq Al-Huwaini (أبو إسحاق الحويني)
Ahmad Farid (أحمد فريد)
Ahmad Muhammad Syakir (أحمد محمد شاكر)
Sayyid Saaduddin Al-Ghabasyi (السيد سعد الدين الغباشي)
Jamal Al-Maraki (جمال المراكبي)
Said Abdul Adzim (سعيد عبد العظيم)
Syarif Al-Hawari (شريف الهوارى)
Shofwat Asy-Syawadifi (صفوت الشوادفي)
Abdurrozzaq Aqiqi (عبد الرزاق عفيفي)
Mazin Assarsawi (مازن السرساوي)
Muhammad Az-Zughbi (محمد الزغبي)
Muhammad Hamid Al-Fiqi (محمد حامد الفقي)
Muhammad Hassan (محمد حسان)
Muhammad Rasyid Ridha (محمد رشيد رضا)
Muhammad Sofwat Nuruddin (محمد صفوت نور الدين)
Mahmud Al-Mashri (محمود المصري)
Yasir Barmami (ياسر برهامي)

DAFTAR NAMA ULAMA WAHABI SALAFI MAROKO 

Abdullah bin Idris As-Sanusi (عبد الله بن إدريس السنوسي)
Alal Al-Qasi (علال الفاسي)
Taqiduddin Al-Hilali (تقي الدين الهلالي)
Abu Uwais Bukhabzah (أبو أويس بوخبزة)
Muhammad bin Abdurrahman Al-Amgharawi (محمد ين عبد الرحمن الأمغراوي)

DAFTAR NAMA ULAMA WAHABI SALAFI MAURITANIA 

Muhammad Al-Amin Asy-Syankiti (محمد الأمين الشنقيطي)
Muhammad Al-Hasan Asy-Syankiti (محمد الحسن الددو الشنقيطي)

DAFTAR NAMA ULAMA WAHABI SALAFI ALJAZAIR 

Ibnu Badis (ابن باديس)

DAFTAR NAMA ULAMA WAHABI SALAFI TUNISIA 

Al-Khatib Al-Idris (الخطيب الإدريسي)
Muhammad Al-Makki bin Azuz (محمد المكي بن عزوز)

DAFTAR NAMA ULAMA WAHABI SALAFI QATAR 

Ahmad bin Hajar Al Butami (أحمد بن حجر آل بوطامي)

DAFTAR NAMA ULAMA WAHABI SALAFI SUDAN

Muhammad Hasyim Al-Hadiyah (محمد هاشم الهدية)
Muhammad Hamzah (محمد حمزة)
Khalid Abdurrahman Al-Latif Muhammad Nur (خالد عبد اللطيف محمد نور)
Hasan Al-Hawari (حسن الهواري)
Muhammad Sayyid Muhammad Hajj (محمد سيد محمد حاج)
Muhammad Musthafa Abdul Qadir (محمد مصطفى عبد القادر)
Muhammad Al-Amin Ismail (محمد الأمين إسماعيل)



DAFTAR NAMA ULAMA WAHABI SALAFI SURIAH 

Jamaluddin Al-Qasimi (جمال الدين القاسمي)
Abdul Qadir Al-Artaut (عبد القادر الأرناؤوط)
Muhammad Bahjah Al-Bithar (محمد بهجة البيطار)

DAFTAR NAMA ULAMA WAHABI SALAFI LEBANON 

Salim Asy-Syihal Lebanon (سالم الشهال في لبنان)

DAFTAR NAMA ULAMA WAHABI SALAFI YORDANIA

Umar Sulaiman Al-Ashkar (عمر سليمان الأشقر)
Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari (علي بن حسن الحلبي الأثري)
Masyhur Hasan Al-Salman (مشهور حسن آل سلمان)
Abu Muhammad Al-Maqdisi (أبو محمد المقدسي)

DAFTAR NAMA ULAMA WAHABI SALAFI YAMAN

Asy-Syaukani (الشوكاني)
Abdurrahman Al-Ma'lami (عبد الرحمن المعلمي)
Abdul Majid Az-Zandani (عبد المجيد الزنداني)
Muhammad bin Abdullah Al-Imam (محمد بن عبد الله الإمام)
Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wasabi (محمد بن عبد الوهاب الوصابي)
Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i (مقبل بن هادي الوادعي)
Yahya bin Ali Al-Hujuri (يحيى بن علي الحجوري)

GERAKAN WAHABI DI INDONESIA 

Gerakan Wahabi di Indoensia terbagi menjadi 2 (dua) kelompok. Kelompok pertama, orang-orang yang menerima dakwah Muhammad bin Abdil Wahhab, namun melakukan usaha modifikasi, baik sedikit, separuhnya, atau sebagian besarnya. Ciri utama mereka adalah modifikasi pesan dakwah Muhammad bin Abdil Wahhab. 

Kelompok Pertama ini disebut Neo-Wahabi. Organisasi masyarakat di Indonesia yang masuk dalam kategori kelompok neo-Wahabi pertama adalah Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Pada tahun 1980-an dan 1990-an muncul gelombang baru neo-Wahabi yaitu kelompok tarbiyah yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)[1] dan Salafi jihadi yang berada dalam lingkaran Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir serta murid-murid mereka berdua. Neo-Wahabi kedua ini merupakan hasil usaha kampanye program-program yang dilakukan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang dimulai pada dekade 1970-an.

Khusus tentang Salafi Jihadi (the Jihadist) dikenallah istilah alumni Afghanistan yakni mereka yang pernah ikut berperang di Afghanistan melawan Uni Soviet. Di bawah pengaruh Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar sebagian alumni Afghanistan ini muncul gerakan neo-Khawarij yang mengafirkan orang-orang di luar mereka—termasuk pemerintah Indonesia—dan menyebarkan kebencian terhadap pihak penguasa di Indonesia. Dari kelompok ini sebagian teroris pengeboman berasal.

KELOMPOK KEDUA: WAHABI MURNI.

Yaitu orang-orang yang merespon positif dakwah tersebut dan menerima secara bulat tanpa usaha memodifikasinya. Mereka menerima dakwah dan berusaha menyebarkannya di lingkungan-lingkungan mereka.

Yayasan Al-Muntada didirikan oleh Muhammad bin Surur bin Nayef Zainal Abidin. di London dan Jam’iyyah Ihya At-Turats Al-Islamiyah didirikan oleh Abdurrahman Abdul Khaliq di Kuwait adalah kelompok baru neo-Wahabi. Di Indonesia Yayasan As-Shafwah yang dipimpin oleh Abu Bakar M. Altway dan Yayasan Al-Haramain adalah cabang dari kedua yayasan yang berpusat di London dan Kuwait tersebut. 

Tokoh dai terkenal dari yayasan Al-Haramain adalah Abdul Hakim Abdat di Jakarta, Yazid bin Abdil Qadir Jawwas di Bogor, Ainul Harits di Jawa Timur dan Abu Haidar di Bandung.

Sedang Jam’iyyah Ihya At-Turats Al-Islamiyah juga memiliki cabang di Indonesia. Mereka mendirikan pesantren-pesantren yang tersebar di Jawa, seperti Ma’had Jamilurrahman dan Islamic Centre Bin Baaz di Yogyakarta, Ma’had Al-Furqan di Gresik dan Ma’had Imam Bukhari di Solo.

Mereka yang berasal dari kedua yayasan tersebut disebut Sururi.

SALAFI TULEN ADALAH SALAFI YAMANI

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8r6kkxji6AClUzhfG21nQx-fypMW-sPvD5dM4cZcpQqi0iltJvaSZ85LzoNqxkd1J9a2MZQEKYdXcgz2f94DEBaKH2Rj_2Wn1ixEgSUaDh4RcE_HSKS8GSm88iRaZ-aEB1JQxuIAmV-LL/s400/muqbil+bin+hadi+al-wadiie.gif

Yaitu kalangan yang pernah menjadi murid dari Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i pengasuh Ma’had Darul Hadits di daerah Dammaj, Sha’dah, Yaman. Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah (FKAWJ) yang menaungi Laskar Jihad Ja’far Umar Thalib didirikan oleh kelompok Salafi Yaman ini.